Oleh: Pablo Neruda
Semua laki-laki itu berada di dalam ruangan
saat dia masuk bertelanjang
Mereka semua telah mabuk: mereka mulai menyibak
baru-baru ini dia muncul dari bibir sungai tanpa tahu apapun
Seekor putri duyung yang tersesat jalan
Dari kilatan tubuhnya celaan segera meluap
kecabulan basah kuyup di payudaranya yang keemasan
ia tidak mengenal airmata jadi ia tak pernah mengusap air mata
ia tidak mengenal pakaian dia tak memilikinya
mereka menyelimutinya dengan sumbat-sumbat gabus hangus
dan puntung-puntung rokok
digelindingkan beriring derai tawa di lantai kedai
Dia sama sekali tidak berbicara, karena dia tak mengenal kata
matanya adalah warna cinta yang asing dingin
bibirnya bergerak, sunyi, dalam cahaya batu karang
dan tiba-tiba dia pergi keluar melalui pintu di sana
masuk ke dalam sungai yang menyucikannya
bersinar seperti pualam di musim hujan
tanpa menoleh dia terus berenang
berenang keketiadaan, menuju maut
mari... mari naik ke perahu! arungi segala sungai, danau, laut dan telaga. mari laju perahuku. jemputlah ombak dan bersuka dalam riaknya. dan berkumpulah engkau, wahai nelayan kata, kita berlayar hingga samudera. pada tangkapan nanti boleh kau temukan suka atau duka
Selasa, 21 Juni 2011
Sayap Patah
Oleh: Subagio Sastrowardoyo
sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
-- meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi --
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
-- meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi --
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali
Matahari Hijau Tua
Oleh: Gema Yudha
Hatimu hinggap di ujung Laventar
lalu jatuh di pelukanku
dan tersedu
Di mataku kau mewarnai matahari
dengan spidol hijau tua
dan kudengar jeritmu
dari televisi yang tak henti
menyemburkan darah,
bangkai bintang dan rembulan
di luar sebagian orang berpesta
merayakan kematian tuhan
dan segera iklan-iklan bertebaran;
lowongan pekerjaan; butuh tuhan
pendidikan dan pengalaman tak diutamakan
kenapa tak melamar? tanya tetanggamu
kau kan pengangguran
Hatimu hinggap di ujung Laventar
lalu jatuh di pelukanku
dan tersedu
Di mataku kau mewarnai matahari
dengan spidol hijau tua
dan kudengar jeritmu
dari televisi yang tak henti
menyemburkan darah,
bangkai bintang dan rembulan
di luar sebagian orang berpesta
merayakan kematian tuhan
dan segera iklan-iklan bertebaran;
lowongan pekerjaan; butuh tuhan
pendidikan dan pengalaman tak diutamakan
kenapa tak melamar? tanya tetanggamu
kau kan pengangguran
Jumat, 10 Juni 2011
Engkau Yang Sepi
Oleh: Janoary M. Wibowo
Engkau terjaga di sudut ruang
Ada yang terbaca di mata
Tapi tak kunjung tertuliskan oleh kata
Mengapa masih saja setia pada malam
Ketika semua telah menghitung angka-angka?
Dentang kian terdengar di pembatas waktu
Tapi kaubilang masih ada tanda-tanda merebak
Terjebak dalam guyur hujan dan tanah retak
Apa yang kaucari dalam dera cuaca
Ketika semua telah menjelma peta yang dipuja?
Doa menjadi hanya mantra
Bergelayutan menggapai-gapai bayangan
Dipintal sedemikian kusut pada jarum jam
Mengapa kau masih menerka
Yang bakal terjadi dari asal-muasal?
Hujan itu tak pernah mampu menggenang
Pada lengang napas yang tak pernah puas
Di jalanan kota yang semakin lupa
Untuk apa masih kaukumpulkan gerimis
Ketika semua telah merasa meminang samudra?
Sepi mana akan kautapaki
Jika riuh makin menjadi
Saat kau baru belajar diam
Juni 2011
Engkau terjaga di sudut ruang
Ada yang terbaca di mata
Tapi tak kunjung tertuliskan oleh kata
Mengapa masih saja setia pada malam
Ketika semua telah menghitung angka-angka?
Dentang kian terdengar di pembatas waktu
Tapi kaubilang masih ada tanda-tanda merebak
Terjebak dalam guyur hujan dan tanah retak
Apa yang kaucari dalam dera cuaca
Ketika semua telah menjelma peta yang dipuja?
Doa menjadi hanya mantra
Bergelayutan menggapai-gapai bayangan
Dipintal sedemikian kusut pada jarum jam
Mengapa kau masih menerka
Yang bakal terjadi dari asal-muasal?
Hujan itu tak pernah mampu menggenang
Pada lengang napas yang tak pernah puas
Di jalanan kota yang semakin lupa
Untuk apa masih kaukumpulkan gerimis
Ketika semua telah merasa meminang samudra?
Sepi mana akan kautapaki
Jika riuh makin menjadi
Saat kau baru belajar diam
Juni 2011
Selasa, 07 Juni 2011
Perjalanan Jalan
Oleh: Gema Yudha
aku mengingat perjalanan panjang di malam-malam berasap dan penuh debu. kau lingkarkan lenganmu di pinggangku sambil menghisap bau punggungku.
berbaliklah. dadaku jalan raya yang terbuka. hendak kemana langkah yang kau bawa. mungkin sesekali kau temukan kebisingan memuakkan. atau arah suram membingungkan. begitulah, karena jalan raya tak pernah mau diam.
aku menyimpan lubang. hati-hatilah saat berjalan. mungkin jalan memutar tak terlalu membosankan, sebab aku tak ingin kau diam.
di jalan-jalan berasap dan penuh debu, kau lingkarkan lenganmu di pinggangku sambil menghisap bau punggungku. ah, aku mencintaimu
aku mengingat perjalanan panjang di malam-malam berasap dan penuh debu. kau lingkarkan lenganmu di pinggangku sambil menghisap bau punggungku.
berbaliklah. dadaku jalan raya yang terbuka. hendak kemana langkah yang kau bawa. mungkin sesekali kau temukan kebisingan memuakkan. atau arah suram membingungkan. begitulah, karena jalan raya tak pernah mau diam.
aku menyimpan lubang. hati-hatilah saat berjalan. mungkin jalan memutar tak terlalu membosankan, sebab aku tak ingin kau diam.
di jalan-jalan berasap dan penuh debu, kau lingkarkan lenganmu di pinggangku sambil menghisap bau punggungku. ah, aku mencintaimu
Aku Tengah Menantimu
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
Yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas
Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
Musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
Kudengar berulang suara gelombang udara memecah
Nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah
Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak
Sepi
Di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun
Menanti
Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
Dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
Yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas
Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
Musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
Kudengar berulang suara gelombang udara memecah
Nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah
Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak
Sepi
Di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun
Menanti
Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
Dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama
Langganan:
Postingan (Atom)