Oleh : Rama Prabu
telah sampai pada nasibnya
telah tiba saatnya pecah
ketuban bumi menagih janji
merapi bersabda dalam liturgi
hujan abu membumbung kepadang agung
disanalah lahar membinar gaung
amuk alam agar manusia menakar kalam
membedah hati setumpuk kitab suci
di tutugan lahar merapi
api secampur abu menawarkan pertanyaan
sejauh mata kaki kau jejak, sejauh mana mata hati kau kendali
menawarkan janji tak ingin menyakiti
sang mata jiwa sedang berdiri diujung gunung
menyaksikan ketakutan dan teriakan
menimbang takut mana dengan hukum-Nya
takut mana dengan hisab-Nya
dan kini doa sedang berjaya
membumbung biru meminta keselamatan
sekali lagi, dari amuk alam
amuk jantung sang maha agung
mari... mari naik ke perahu! arungi segala sungai, danau, laut dan telaga. mari laju perahuku. jemputlah ombak dan bersuka dalam riaknya. dan berkumpulah engkau, wahai nelayan kata, kita berlayar hingga samudera. pada tangkapan nanti boleh kau temukan suka atau duka
Rabu, 27 Oktober 2010
Senin, 25 Oktober 2010
Soneta II
Oleh : Pablo Neruda
Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.
Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.
Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa
Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunga anyelir.
Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.
Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.
Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa
Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunga anyelir.
Derai-Derai Cemara
Oleh : Chairil Anwar
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Sabtu, 23 Oktober 2010
Amsterdam
Oleh : Heri Latief
balada di sepanjang kanal kota tua
tempat segala dosa bercahaya
binalnya gincu berlapis materialis
dibakar panasnya rayuan iblis
semua tau cerita hawa dan adam
balada di sepanjang kanal kota tua
tempat segala dosa bercahaya
binalnya gincu berlapis materialis
dibakar panasnya rayuan iblis
semua tau cerita hawa dan adam
Selama Satu Jam
Oleh : Utami Diah Kusumawati
Selama satu jam,
Tuhan berkata lewat tatapanmu,
"Pelajari, hidup tak sekadar debu terbang tanpa arah. Setiap kedatangan dan pertemuan adalah pertanda. Apakah kau mau belajar atau berpaling?"
Aku memilih mengabaikan dan kita pun beranjak sirna.
Kabut pagi yang kuasa akan malam
Cahaya pias lampu lampu gedung kota
Derit pintu bioskop cikini, hembusan angin taman, keheningan stasiun kereta
Dan deru motormu membuncah, mengantarkan kepada cerita.
Selama satu jam,
Di tempat ini, kau memberanikan diri berkisah,
"senyawa yang membentuk diriku, terikat kutukan masa lalu dan belum berhasil kubebaskan. Apakah kau masih mau tinggal atau minggat?"
Setia kepada sekaleng minuman dan malam, aku memilih mendengarkan.
Doa lelaki tua tak dikenal yang tiba tiba datang
Pendar lampu billboard teater dan hotel hotel tua
Teriakan mahasiswa, kecupan kekasih, denting wajan tukang jualan
Dan mulutmu terbuka, menyulam benang katakata
Selama satu jam
Tuhan kembali mengejawantah dalam senyummu. Terdiam, aku berbisik,
"Dalam kisahmu, kutemukan wajah diriku. Selalu hendak kubuang ke laut, tetapi ombak menghempaskannya kembali ke daratan. Mengapa kau kini menjelma ombak?"
Dan kau berkata pelan,"Takdir seringkali menguakkan diri tanpa perlu diminta."
Selama satu jam
Selama satu
Selama.......
Selama satu jam,
Tuhan berkata lewat tatapanmu,
"Pelajari, hidup tak sekadar debu terbang tanpa arah. Setiap kedatangan dan pertemuan adalah pertanda. Apakah kau mau belajar atau berpaling?"
Aku memilih mengabaikan dan kita pun beranjak sirna.
Kabut pagi yang kuasa akan malam
Cahaya pias lampu lampu gedung kota
Derit pintu bioskop cikini, hembusan angin taman, keheningan stasiun kereta
Dan deru motormu membuncah, mengantarkan kepada cerita.
Selama satu jam,
Di tempat ini, kau memberanikan diri berkisah,
"senyawa yang membentuk diriku, terikat kutukan masa lalu dan belum berhasil kubebaskan. Apakah kau masih mau tinggal atau minggat?"
Setia kepada sekaleng minuman dan malam, aku memilih mendengarkan.
Doa lelaki tua tak dikenal yang tiba tiba datang
Pendar lampu billboard teater dan hotel hotel tua
Teriakan mahasiswa, kecupan kekasih, denting wajan tukang jualan
Dan mulutmu terbuka, menyulam benang katakata
Selama satu jam
Tuhan kembali mengejawantah dalam senyummu. Terdiam, aku berbisik,
"Dalam kisahmu, kutemukan wajah diriku. Selalu hendak kubuang ke laut, tetapi ombak menghempaskannya kembali ke daratan. Mengapa kau kini menjelma ombak?"
Dan kau berkata pelan,"Takdir seringkali menguakkan diri tanpa perlu diminta."
Selama satu jam
Selama satu
Selama.......
Menulislah
Oleh : Heri Latief
mulailah menulis apa yang kau alami
jadilah dirimu sendiri bukan cuma ilusi
pengalaman hidup itu seperti apa adanya
nyala apinya masih ada di dalam dada
dalam sebuah dongeng bercahaya
membias diperjalan waktu yang tersisa
dari zaman ke zaman tak pernah dilupa
pada janji bermadu di musim pancaroba
bayangan masa lalumu datang menyapa
misteri manusia sepanjang ingatannya
mulailah menulis apa yang kau alami
jadilah dirimu sendiri bukan cuma ilusi
pengalaman hidup itu seperti apa adanya
nyala apinya masih ada di dalam dada
dalam sebuah dongeng bercahaya
membias diperjalan waktu yang tersisa
dari zaman ke zaman tak pernah dilupa
pada janji bermadu di musim pancaroba
bayangan masa lalumu datang menyapa
misteri manusia sepanjang ingatannya
Percakapan Malam Hujan
Oleh : Sapardi Djoko Damono
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung,
berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu
jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam."
"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara
desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah,
jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka
terang."
Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung,
berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu
jalan, "Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam."
"Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara
desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah,
jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka
terang."
Kucari
Oleh : Indah IP
Sekian lama kucari-cari
dalam sibukku mendaki
jalan menelikung yang rumit dan jauh
Kau
tak kutemu
kemudian kucari-cari
dalam sibukku merindu
sepetak waktu tempat diri kelak kembali
Kau
kudapati
Sekian lama kucari-cari
dalam sibukku mendaki
jalan menelikung yang rumit dan jauh
Kau
tak kutemu
kemudian kucari-cari
dalam sibukku merindu
sepetak waktu tempat diri kelak kembali
Kau
kudapati
Suara Piano, Suatu Malam
Oleh : Medy Loekito
(1)
dalam tatapmu
alpa langkah
hilang tuju
aku tersesat
(2)
dalam bisikmu
riuh mimpi
resah angan
aku terpana
(3)
dalam belaimu
senyap geliat
bisu isyarat
aku terjerat
(1)
dalam tatapmu
alpa langkah
hilang tuju
aku tersesat
(2)
dalam bisikmu
riuh mimpi
resah angan
aku terpana
(3)
dalam belaimu
senyap geliat
bisu isyarat
aku terjerat
Jumat, 22 Oktober 2010
Kisah Angin
Oleh : Putri Narita Pangestuti
aku mendengar kisah angin
dan mendapati abu-abu dirimu
angin kuat menyusu
hingga bayimu terlalu lemah untuk itu
ingatkah kau saat buih merayumu
dan kabarkan bau amis sungai itu?
langit telah berkata
tak ada lagi yang berani
berkisah tentang surya
angin masih lekat di dadamu
sedang wajah anakmu
selalu mengabu
dalam jeritan tinta
di buku-buku itu
aku mendengar kisah angin
dan mendapati abu-abu dirimu
angin kuat menyusu
hingga bayimu terlalu lemah untuk itu
ingatkah kau saat buih merayumu
dan kabarkan bau amis sungai itu?
langit telah berkata
tak ada lagi yang berani
berkisah tentang surya
angin masih lekat di dadamu
sedang wajah anakmu
selalu mengabu
dalam jeritan tinta
di buku-buku itu
Beringin Kupu-Kupu
Oleh : Gema Yudha
serupa beringin di alun alun kota
padanya dititipkan segala suka
juga luka
bersama dedaunan wajah wajah jatuh
tanggal tanggal menua
gerimis serasa tangis di muka jendela
merupalah beringin di alun alun kota
menjengkali langit
dan menjaga rindu yang di tanam orang orang
arah jalan cuma bayang bayang suram
kita tetak dengan pisau lipat yang tumbuh di balik matamu
lalu larungkan kata kata yang sempat terlupa
di bawah lampu yang muram
kaulah beringin
ditumbuhi kupu kupu
serupa beringin di alun alun kota
padanya dititipkan segala suka
juga luka
bersama dedaunan wajah wajah jatuh
tanggal tanggal menua
gerimis serasa tangis di muka jendela
merupalah beringin di alun alun kota
menjengkali langit
dan menjaga rindu yang di tanam orang orang
arah jalan cuma bayang bayang suram
kita tetak dengan pisau lipat yang tumbuh di balik matamu
lalu larungkan kata kata yang sempat terlupa
di bawah lampu yang muram
kaulah beringin
ditumbuhi kupu kupu
Kepada Sapardi Djoko Damono
Oleh : Asep Sambodja
kupu-kupu terbang rendah
menyebar cinta yang resah
aku merindu-rindu padamu
kau selalu marah-marah padaku
matahari pagi yang sembunyi sedari tadi
menyimpan rindu yang laknat
aku sungguh ingin mencintaimu
tapi kau selalu menganggapku debu
kini aku tertatih-tatih mengejarmu
kau semakin menjauh dari harapanku
kau semakin mengabur dalam bayanganku
meski cintaku padamu semakin tajam
kupu-kupu terbang rendah
menyebar cinta yang resah
aku merindu-rindu padamu
kau selalu marah-marah padaku
matahari pagi yang sembunyi sedari tadi
menyimpan rindu yang laknat
aku sungguh ingin mencintaimu
tapi kau selalu menganggapku debu
kini aku tertatih-tatih mengejarmu
kau semakin menjauh dari harapanku
kau semakin mengabur dalam bayanganku
meski cintaku padamu semakin tajam
Kehilangan, Katamu, Adalah Bagian Kecil Dari Sebuah Perjalanan
Oleh : Gita Romadhona
kehilangan, katamu, adalah bagian kecil dari sebuah perjalanan
seperti telusur-telusur yang menepi
setelah hampir setiap petang ditinggalkan matahari
tak ada yang pernah bosan, selalu ada yang pergi, dan masih terus ada yang pulang
kita toh masih memiliki kemarin
meski lamat-lamat ia pun kusam dan mengering
kehilangan, katamu, adalah bagian kecil dari sebuah perjalanan
seperti lampu jalan di sepanjang hutan itu yang selalu mati ketika kita lewati
bukankah gelap sedikit banyak ikut mengajari?
lalu stasiun, rel, orang-orang, dan malam setiap hari,
masihkah tak termaknai?
dan seperti katamu, kehilangan hanya bagian kecil dari sebuah perjalananya,
hanya bagian kecil!
tapi akan selalu bernama kehilangan.
kehilangan, katamu, adalah bagian kecil dari sebuah perjalanan
seperti telusur-telusur yang menepi
setelah hampir setiap petang ditinggalkan matahari
tak ada yang pernah bosan, selalu ada yang pergi, dan masih terus ada yang pulang
kita toh masih memiliki kemarin
meski lamat-lamat ia pun kusam dan mengering
kehilangan, katamu, adalah bagian kecil dari sebuah perjalanan
seperti lampu jalan di sepanjang hutan itu yang selalu mati ketika kita lewati
bukankah gelap sedikit banyak ikut mengajari?
lalu stasiun, rel, orang-orang, dan malam setiap hari,
masihkah tak termaknai?
dan seperti katamu, kehilangan hanya bagian kecil dari sebuah perjalananya,
hanya bagian kecil!
tapi akan selalu bernama kehilangan.
Menjelang Senja
Oleh : Jajang Nurjaman
tak ada sinar mentari si kala lembayung menutupi langit
rintik hujannya tak henti mengguyur hari di september
di kala penglaju menghilirkan kendaraanya
dan pemudik tahunan bersiap meninggalkan ibukota,
ada suara senyap seketika:
'Dara, dara yang sendiri
berani mengembara
mencari di pantai senja.
Dara, ayo pulang saja, Dara!'' *
dan senyumpun tergelai lemah di sisi bibirnya
seolah berkata,
maaf mama
dalam lensa mata, kuabadikan ia dengan
temarang lampu senja di stasiun ini
yang semenjak dari kemarin lusa,
ah,
kemarin minggu,
atau mungkin juga kemarin bulan,
ia berkaca dalam lamunannya
tak ada sinar mentari si kala lembayung menutupi langit
rintik hujannya tak henti mengguyur hari di september
di kala penglaju menghilirkan kendaraanya
dan pemudik tahunan bersiap meninggalkan ibukota,
ada suara senyap seketika:
'Dara, dara yang sendiri
berani mengembara
mencari di pantai senja.
Dara, ayo pulang saja, Dara!'' *
dan senyumpun tergelai lemah di sisi bibirnya
seolah berkata,
maaf mama
dalam lensa mata, kuabadikan ia dengan
temarang lampu senja di stasiun ini
yang semenjak dari kemarin lusa,
ah,
kemarin minggu,
atau mungkin juga kemarin bulan,
ia berkaca dalam lamunannya
Perasaan
Oleh : Asep Sambodja
pagi di balik jendela
mengirim embun
awan memerah
pagi merekah
hujan semalam
dingin seharian
aku ingin
memeluk angin
pagi di balik jendela
mengirim embun
awan memerah
pagi merekah
hujan semalam
dingin seharian
aku ingin
memeluk angin
Akar Samudra
Oleh : Aulia A. Muhammad
persetubuhan kita adalah persenyawaan rasa, bukan penaklukan. dialog dua tubuh, bukan petualangan. kita tak kenal jurang dan lembah atau atol. juga tak mengerti gua basah, apalagi stalaktit di atasnya. karena tubuh kita adalah samudra. kita berlayar di dalamnya.
dan desahmu adalah angin yang mengibarkan layar. kaki menjadi kayuh, di pinggul tertuas kemudi penentu arah. di ujung jerit kita karam.
tapi kita tidak padam.
di matamu kupetik lentera. di senyumku kau gurat puas.
"dengarlah, tersisa ombak di dada. berkerumun buih di paha."
persetubuhan kita adalah persenyawaan rasa, bukan penaklukan. dialog dua tubuh, bukan petualangan. kita tak kenal jurang dan lembah atau atol. juga tak mengerti gua basah, apalagi stalaktit di atasnya. karena tubuh kita adalah samudra. kita berlayar di dalamnya.
dan desahmu adalah angin yang mengibarkan layar. kaki menjadi kayuh, di pinggul tertuas kemudi penentu arah. di ujung jerit kita karam.
tapi kita tidak padam.
di matamu kupetik lentera. di senyumku kau gurat puas.
"dengarlah, tersisa ombak di dada. berkerumun buih di paha."
Suatu Ketika, Senja Pernah Bertanya
Oleh : Rama Prabu
suatu ketika, senja pernah bertanya
bagaimana hari dapat dilayari
tanpa rasa yang membuat onak hati*)
agar rasa bisa dirayakan, disemayamkan di kedalaman
bagi mereka yang menulis dengan darah dan air mata
jawaban tak perlu diluruskan
tak harus dicarikan kebenaran
temaram malam dan seikat bunga asoka
adalah jawaban sang fajar
karena bahasa mentari tak pernah ingkar janji
pasti ada yang dapat ditepati
dan perayaan yang kita angankan
adalah sampan kecil dari pertemuan
hati yang kan memandu arah
kemana hendak kita menarik madah
membentang selendang hingga masa lalu tak hanya indah untuk dikenang
suatu ketika, senja pernah bertanya
bagaimana hari dapat dilayari
tanpa rasa yang membuat onak hati*)
agar rasa bisa dirayakan, disemayamkan di kedalaman
bagi mereka yang menulis dengan darah dan air mata
jawaban tak perlu diluruskan
tak harus dicarikan kebenaran
temaram malam dan seikat bunga asoka
adalah jawaban sang fajar
karena bahasa mentari tak pernah ingkar janji
pasti ada yang dapat ditepati
dan perayaan yang kita angankan
adalah sampan kecil dari pertemuan
hati yang kan memandu arah
kemana hendak kita menarik madah
membentang selendang hingga masa lalu tak hanya indah untuk dikenang
Kamis, 21 Oktober 2010
Sajak Putih
Oleh : Chairil Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Di Muka Jendela
Oleh: Goenawan Mohamad
Di sini
cemara pun gugur daun. Dan kembali
ombak-ombak hancur terbantun.
Di sini
kemarau pun menghembus bumi
menghembus pasir, dingin dan malam hari
ketika kedamaian pun datang memanggil
ketika angin terputus-putus di hatimu menggigil
dan sebuah kata merekah
diucapkan ke ruang yang jauh: – Datanglah!
Ada sepasang bukit, meruncing merah
dari tanah padang-padang yang terngadah
tanah padang-padang tekukur
di mana tangan-hatimu terulur. Pula
ada menggasing kincir yang sunyi
ketika senja mengerdip, dan di ujung benua
mencecah pelangi:
tidakkah siapa pun lahir kembali di detik begini
ketika bangkit bumi,
sajak bisu abadi,
dalam kristal kata
dalam pesona?
Langganan:
Postingan (Atom)