Jumat, 09 September 2011

Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam

Di kota itu, kata orang, gerimis telah jadi logam.
Di bawah cahaya
hari pun bercadar,
tapi aku tahu kita akan sampai ke sana.

Dan kita bercinta tanpa batuk yang tersimpan.
membiarkan gumpal darah di gelas itu menghijau.
Dan engkau bertanya mengapa udara
berserbuk di antara kita?

Lalu pagi selesai, burung lerai dan sisa bulan tertinggal
di luar, di atas cakrawala aspal.

Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu. Tapi
tutupkan matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.

Selasa, 26 Juli 2011

Padamu

Oleh: Gema Yudha

padamu kuikatkan luka dengan seutas hujan
gerimis yang mistis mengabarkan
jalan-jalan yang jauh
dari langit
dari laut
dariku
padamu

Malam Pengantin

Oleh: Hanna Fransisca

pelangi memenggal
kepala naga
selendang merah
melayang di udara
gagak menyambar
mematuk jantung
di belantara gadis meratapi raga

Makam Penyair

Oleh: Asep Sambodja


Puisi adalah makam para penyair
setiap saat kita menziarahinya
menabur bunga-bunga makna
membaca ayat-ayat lama

Puisi adalah makam para penyair
namanya terpatri di batu nisan
abadi dalam kesunyian
jadi tempat terindah
para peziarah

Puisi adalah makam para penyair
Amir Hamzah, Chairil Anwar, Rendra
dan siapa saja duduk di dalamnya
duduk seperti patung Ganeca
dan kita mempelajarinya
sampai habis kata
sampai habis nyawa

Alegori Rima

Oleh: Saut Situmorang

tuhankah itu yang pura pura jadi hujan biar bisa main dengan saut kecil?

kalau bukan tuhan yang pura pura jadi hujan,
kenapa saut kecil tak takut main sendirian di lapangan tanpa kawan?

hujan reda, tuhan pergi, di lapangan pun saut kecil tak ada lagi.
apakah sekarang Dia di sorga
main hujan berduaan dengan tuhan?

Satu

Oleh: Sutardji Calzoum Bachri

kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku

Selasa, 05 Juli 2011

Sajak Lelaki Untuk Mantan Kekasihnya

Oleh: Wikha Setiawan


kapan kau berkunjung 
di ruang tak berwadah setumbuh kalbu kenangan
dan aku masih setia memandangi pintu
membayangkan wajahmu yang membasah
dan mengerut di dinding waktu yang beku
dari musim yang tak terbilang
di kursi aku semakin usang
sesekali memanah fotomu di samping jam dinding
sekejap aku tertawa kemudian menangis
masa depan menjadi serpihan
pecahan cermin
sedang masa lalu selalu menawarkan belati di pagiku
seusai mengutuki diri sendiri
lantaran sepi pelan-pelan memenggal usiaku
jiwaku tersandra di sepertiga malam
kapan kau berkunjung
akan kuperkenalkan kau pada penyesalanku
dan maaf yang tak surut 
sebelum sampai padamu

Selasa, 21 Juni 2011

Dongeng Putri Duyung Dan Pemabuk

Oleh: Pablo Neruda


Semua laki-laki itu berada di dalam ruangan
saat dia masuk bertelanjang
Mereka semua telah mabuk: mereka mulai menyibak
baru-baru ini dia muncul dari bibir sungai tanpa tahu apapun
Seekor putri duyung yang tersesat jalan
Dari kilatan tubuhnya celaan segera meluap
kecabulan basah kuyup di payudaranya yang keemasan
ia tidak mengenal airmata jadi ia tak pernah mengusap air mata
ia tidak mengenal pakaian dia tak memilikinya
mereka menyelimutinya dengan sumbat-sumbat gabus hangus
dan puntung-puntung rokok
digelindingkan beriring derai tawa di lantai kedai
Dia sama sekali tidak berbicara, karena dia tak mengenal kata
matanya adalah warna cinta yang asing dingin
bibirnya bergerak, sunyi, dalam cahaya batu karang
dan tiba-tiba dia pergi keluar melalui pintu di sana
masuk ke dalam sungai yang menyucikannya
bersinar seperti pualam di musim hujan
tanpa menoleh dia terus berenang
berenang keketiadaan, menuju maut

Sayap Patah

Oleh: Subagio Sastrowardoyo


sejak berdiam di kota
hati yang memberontak
telah menjadi jinak
kini pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis karena lapar
kadang-kadang juga memuji istri
memakai baju yang baru dibeli
-- meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi --
hanya sesekali di muka kaca
aku berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali

Matahari Hijau Tua

Oleh: Gema Yudha


Hatimu hinggap di ujung Laventar
lalu jatuh di pelukanku
dan tersedu

Di mataku kau mewarnai matahari
dengan spidol hijau tua
dan kudengar jeritmu
dari televisi yang tak henti
menyemburkan darah,
bangkai bintang dan rembulan

di luar sebagian orang berpesta
merayakan kematian tuhan
dan segera iklan-iklan bertebaran;
lowongan pekerjaan; butuh tuhan
pendidikan dan pengalaman tak diutamakan

kenapa tak melamar? tanya tetanggamu
kau kan pengangguran

Jumat, 10 Juni 2011

Engkau Yang Sepi

Oleh: Janoary M. Wibowo

Engkau terjaga di sudut ruang
Ada yang terbaca di mata
Tapi tak kunjung tertuliskan oleh kata
Mengapa masih saja setia pada malam
Ketika semua telah menghitung angka-angka?

Dentang kian terdengar di pembatas waktu
Tapi kaubilang masih ada tanda-tanda merebak
Terjebak dalam guyur hujan dan tanah retak
Apa yang kaucari dalam dera cuaca
Ketika semua telah menjelma peta yang dipuja?

Doa menjadi hanya mantra
Bergelayutan menggapai-gapai bayangan
Dipintal sedemikian kusut pada jarum jam
Mengapa kau masih menerka
Yang bakal terjadi dari asal-muasal?

Hujan itu tak pernah mampu menggenang
Pada lengang napas yang tak pernah puas
Di jalanan kota yang semakin lupa
Untuk apa masih kaukumpulkan gerimis
Ketika semua telah merasa meminang samudra?

Sepi mana akan kautapaki
Jika riuh makin menjadi
Saat kau baru belajar diam

Juni 2011

Selasa, 07 Juni 2011

Perjalanan Jalan

Oleh: Gema Yudha

aku mengingat perjalanan panjang di malam-malam berasap dan penuh debu. kau lingkarkan lenganmu di pinggangku sambil menghisap bau punggungku.

berbaliklah. dadaku jalan raya yang terbuka. hendak kemana langkah yang kau bawa. mungkin sesekali kau temukan kebisingan memuakkan. atau arah suram membingungkan. begitulah, karena jalan raya tak pernah mau diam.

aku menyimpan lubang. hati-hatilah saat berjalan. mungkin jalan memutar tak terlalu membosankan, sebab aku tak ingin kau diam.

di jalan-jalan berasap dan penuh debu, kau lingkarkan lenganmu di pinggangku sambil menghisap bau punggungku. ah, aku mencintaimu

Aku Tengah Menantimu

Oleh: Sapardi Djoko Damono

Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
Yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas
Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu
Musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku
Kudengar berulang suara gelombang udara memecah
Nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah
Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak
Sepi
Di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun
Menanti
Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
Dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama

Kamis, 12 Mei 2011

Dukamu Abadi

Oleh: Sapardi Djoko Damono


Dukamu adalah dukaku
Airmatamu adalah airmataku
Kesedihan abadimu
Membuat bahagiamu sirna
Hingga keakhir tirai hidupmu
Dukamu tetap abadi.
Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini
Berbekalkan sejuta dukamu
Mengiringi setiap langkahku
Menguja semangat jituku
Karena dukamu adalah dukaku
Abadi dalam duniaku!
Namun dia datang
Meruntuhkan segala penjara rasa
Membebaskan aku dari derita ini
Dukamu menjadi sejarah silam
Dasarnya ku jadikan asas
Membangunkan semangat baru
Biar dukamu itu adalah dukaku
Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!

Selasa, 12 April 2011

Pada Sebuah Perjalanan

Oleh: Gema Yudha


saat-saat begini membayangkanmu di sebelahku rasanya menyenangkan. perasaanku jadi tenang. jalanan samar-samar, udara menjadi dingin. pohon-pohon pinggir jalan seperti heran, atau kasihan, menyaksikan aku pergi sendirian. kadang aku membayangkan berpergian bersamamu. berhenti di desa atau kota yang diantaranya tak kita kenal. tidur di penginapan murahan dan tak semuanya menyenangkan. tapi ada kamu di sampingku. tidur seperti udang dan kita berpelukan.

aku mencintaimu. mencintaimu seperti hujan yang turun sore hari. jatuh tanpa tau alasan. dan menyenangkan.

Rabu, 06 April 2011

Dalam Sakit

Oleh: Sapardi Djoko Damono

waktu lonceng berbunyi percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti kau berbisik: siapa lagi akan tiba siapa lagi menjemputmu berangkat berduka di ruangan ini kita gaib dalam gema. Di luar malam hari mengendap, kekal dalam rahasia kita pun setia memulai percakapan kembali seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi

Kamis, 31 Maret 2011

Saat Merokok

Oleh: Gema Yudha

pada setiap tarikan rokok yang dihisapnya
ketika lidahnya merasakan pahit yang kesat dari asap
apa yang kau pikir ada di kepalanya?
di dadanya?

sesaat setelah asap lepas
bersama hembus napas
ada rongga yang tersisa di dadanya
kepalanya berubah serupa ampas
dan lidah mencecap rasa manis di merah bibirnya

ketika itu, tentu saja kau tak ada
dan dingin rasa lantai yang dia duduki
tak sampai merayap ke sisimu.

Rabu, 02 Februari 2011

Malam Ketika Bulan Tak Mungkin Purnama

Oleh: Ranang Aji SP


Melupa jalan pulang dimana kita menyimpan hati 
Kegelisahan yang berserakkan sepanjang malam
Tak menemu jejak di tanah yang pernah kita pijak.
Pertengkaran pun dimana kita menuju menjadi kabut
Tak menentu arah samar di mata yang mulai berlinang.
Kita harus pulang, katamu.
Pada hati dimana segala rindu untukku untukmu terjaga.
Lalu, malam merupa sundal yang tak dibayar para begundal
Dingin, beku dan menyentak kilat.
raguku menjadi jurang mencemas bagimu tiba-tiba.